“Tin,
sholat dzuhur yuk!” kata Iin, teman sekelasku, sesaat setelah bel jam istirahat
kedua berbunyi. Dengan alis yang mengkerut penuh alibi, aku menjawab, “tidak,
In. pergi saja, tidak apa-apa.”
“Loh? Kenapa?” Tanya Iin
heran dengan penolakan terhadap amalan wajib itu.
“Hm…
tadi aku ga shalat shubuh, In. Jadi ga shalat dzuhur juga.” Jawabku dengan sedikit
ragu diawal tapi dengan penuh yakin diakhirnya. Iin pun memandangku dengan
lebih heran lagi, kemudian dengan nada lembut khas Iin, ia berkata,
“Oh
gitu… Jadi, kalau kamu ga sarapan, kamu ga makan siang juga?” simpelnya yang
membuatku tertunduk malu tanpa kata.
“Ya
udah ga papa. Aku pergi ke mushallah dulu ya.” Dengan senyum, Iin meninggalkan
kelas.
***
What? Is she on the story is you,
Titin? Yes… She was me. Who I am before. Sebelum ku mengenal
indahnya kasih sayang Rabbku yang tiada tara. Boro-boro shalat, saat terkejut
saja mungkin bukan dzikrullah yang keluar dari lisan ini, melaikan untaian
sumpah serapah yang dapat menghantarkan jitakan orang yang mendengarnya. Pasalnya
aku terlahir bukan dari keluarga yang basically
Islami atau dibesarkan dilingkungan bernafaskan Rabbani. Lahir dan besar di
Ibu Kota tanpa dasar agama yang kuat dapat membuat tumbuh kembang anak tak berpondasi
kuat, imbasnya, ia akan mudah terseret arus dengan dalih kenyamanan di comfort zone. Bukan, ini bukan ajang
diri membuka aib, tapi ijinkanku mengajak kalian kemasa laluku dimana pertama
kali aku mengenalNya dengan mantap yang membuatku tak ingin jauh lagi dariNya.
Aku
tumbuh dengan kasih sayang Mama dan Bapak yang selalu menyelimuti. Kasih sayang
seorang Mama yang tak akan pernah terganti, dalam murkanya pun ia balut dengan
kasih yang tak elak membuat murka itu luntur seketika dengan pelukan yang
berbalas maaf. Bapak lebih introvert,
ia tak begitu akrab dengan kami, tapi itu bukan sebuah alasan yang kemudian
kelak dapat menjadi saksi bahwa ia tak menyayangi. Caranya memberi kasih sayang
lebih dari apa yang kau kira. Bukankah ketika Mama yang menelepon menanyakan
keberadaan kita disore hari ketika tak kunjung pulang, ialah desakan dari
Bapak? Bukan kah yang bekerja keras tanpa lelah mengambil lembur hanya untuk
melebihkan apa yang seharusnya sudah cukup bagi kita? Yakinlah keduanya
menyayangi dengan caranya masing-masing, terlalu naif jika diri ingin bersu’udzon kepada keduanya dengan berkata,
“Mama dan Bapak tak menyayangiku.” Lantaran hanya karena mendapat omelan yang
sebenarnya wujud cinta kasih dan sayangnya.
Mama
adalah sosok yang tangguh, ia rela berkorban banyak hanya untuk mengukir senyum
diwajah kecil kami. Bahkan saat ia terkujur kaku ditempat tidur rumah sakit, dalam
keadaan hemiplegia (lumpuh setengah
badan akibat stroke), ia masih
menuliskan dengan sisi tangan lainnya, apa yang menjadi keperluan sehari-hari
kami, anak-anaknya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, bukan kah kami ini
berasal dari Mu, duhai Rabbku? Dan kelak hanya kepadaMu lah kembali diri ini? Qadarallah,
Ia lebih menyayangi Mama, iapun pergi dengan berbagai bekas luka bak
disayat-sayat yang alhamdulillaah sebagai bukti sayangnya Allah, mengajarkan
kami makna ikhlas melalui kepergiannya, yang terkasih, yang selama ini memenuhi
hampir seluruh isi hati. Kepergian seorang wanita tangguh tentu sangat
berpengaruh, seketika tertorehlah kata “wajar” ketika diri makin jauh dari
agama samawi wa rahmatan lil’alamin ini.
***
“Ha? Tidak boleh pacaran?” dengan terkejut bin shock diri
ini berseru penuh tanya kepada teman-teman sekelas sewaktu duduk di kelas XI IPA
1, SMA, teman-teman kelas yang cukup banyak mengikuti rohis.
“Iya, Tin.” Kata Iin yang sebelumnya tanpa sengaja
memberi tau bahwa mereka, anak rohis, sebenarnya tidak boleh berpacaran. Ditelinga
Titin Muda (haa, sekarang juga masih muda, I
mean, younger than before) sangat aneh, apa yang salah dengan pacaran? Bukankah
itu baik, ada yang memperhatikan, menyemangati belajar, menemani diberbagai
moment, sedia setiap saat bak rek**na.
Oh dear, my self.
Tertawa penuh malu mengingat siapa diri ini dulu, namun dengan segala
kebaikanNya memperkenalkan diri ini dengan mereka, anak-anak rohis SMA Neg 3
Makassar, yang rohisnya akrab kami sapa “Ikramal”, Ikatan Remaja Mushallah Al
Iqra.
***
“Tin, kamu ini cantik. Tapi lebih cantik lagi kalau pakai
jilbab.” Goda seorang teman sekelas, ma syaa Allah, begitu banyak cara mereka
untuk mengajak diri mulai dari jujur-jujuran hingga siasat-siasat penuh
kebaikan. Kalimat yang hanya ku balas dengan tatapan sinis dengan rona penuh
malu.
“Tin, ayo ikut Kamat.” Ajak seorang Ukhti, aku sedikit
lupa, entah Ukhti Iin, atau Ukhti Dina yang mengajak kala itu. “Kamat, Kajian
Jum’at.” Lanjutnya setelah melihat raut kebingunganku, yang kemudian ku sambut
dengan peng”iyaan”
Saat berada di dalam ruang kelas untuk mengikuti Kamat,
disiang hari setelah jam pulang sekolah dihari Jum’at, kira-kira pukul 10.30
agak samar, namun masih terlukis jelas apa yang ku pandang di depan kelas yang
tengah bersiap memberikan materi. Seorang Akhwat (Perempuan) anggun dengan
jilbab besar nan lebarnya, begitu sejuk nan teduh dengan keramahannya. For the first time, rasa “ngeri” melihat
wanita berjilbab besar nan lebar berwarna gelap itu menguap entah kemana, berganti
dengan molekul takjub beriring kagum dengan apa yang disaksikan. Ku kira “mereka”
itu akan sinis, atau mungkin pesimis unuk sekedar memberi sapa dengan manis,
namun dengan keramahan Sang Akhwat, menggiring hati ini berjalan setapak demi
setapak menuju seberkas cahaya di ujung nan jauh untuk diraih.
Singkat saja Kamat siang itu, kurang lebih satu jam. Namun
satu jam penuh makna dan menjadi titik berbalikku. Entah apa yang dibawa akhwat
shalihah itu, namun ada buncah tak terbendung yang memantapkan diri “aku ingin
berjilbab.” Tak ada yang tau niatan ini, hanya kepada Bapak ku sampaikan.
“Bapak… aku mau beli jilbab dan baju panjang untuk
sekolah.” Pintaku yang sekaligus memberi tau niat kuatku ini. Tanpa tapi, tanpa
tanya, beliau hanya menjawab, “Kapan? Nanti Bapak temani.”
***
“Titin mana nih, lama sekali.” Kata seorang teman yang
berdiri didepan pagar sekolah bersama teman-teman lainnya, pagi itu kami akan
mengikuti Upacara hari Pendidikan Nasional di Lapangan Karebosi, Makassar. Ia
sempat melirikku. Ku sangka ia hanya bercanda, namun wajah kesalnya mulai
nampak yang kemudian menyadarkan ku kalau ia tak mengenaliku.
“Akukan sudah dari tadi disini.” Sahutku kemudian yang
membuat wajah bingung teman-teman yang ada.
“Titin? Ma syaa Allah.” Kata mereka sahut menyahut yang
disusul dengan bullyan penuh kasih mereka. Tanggal 2 Mei 2012, kali pertamaku
menggunakan Jilbab dengan hati yang mantap, walau dengan sederhana, belum
sesuai dengan An Nur ayat 31 maupun rangkaian hadits yang seharusya.
***
Then… what is the
main point, sist? Poin utamanya kenapa saya menuliskan kisah ini diakhir
tahun 2017, ialah sebagai bahan refleksi utamanya bagi diri saya pribadi. Refleksi
bahwa hidayah Allah itu ga serta merta datang, ada yang harus dijemput walau
dengan terpaksa, dan harus ada orang-orang yang mau mengantarkan dengan paksa
untuk mereka yang merindukan hidayah Allah.
So,
what the is the correlation between pict with your note? Korelasinya adalah,
kemarin ketika saya membuka kembali raport SMA, ma syaa Allah, ku temukan
lembar demi lembar yang kosong dibagian ekstrakulikulernya, yang pada akhirnya
ditahun terakhir berisi pada kolom “Ikramal” dengan predikat AB (Amat Baik). Kalau
saya artikan AB itu Allah Baik. Baik sekali menemapatkan diri ini di kelas yang
anak-anaknya pandai bersiasat dan terus mengajak dalam kebaikan, Baik sekali
memperkenalkan dengan Murobbiyah (Kak Eki) dan teman-teman tarbiyah, Ukh Ilmy,
Ukh Dina, Ukh Kiki, Ukh Dian, Ukh Monic, Ukh Iin. Disaat diri sama sekali tak
mengenal Islam melainkan hanya predikat yang diperoleh dari orang tua, Allah
kirimkan mereka untuk kemudian menjadi “First
Step” menerima banyak kebaikan lainnya.
“Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya Allah Subhanahu
Wata’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah
dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat
ditolong (lagi).”
(QS. Az Zumar: 53-54).
Dear kamu yang
sedang membaca tulisan ini. Pergantian tahun bisa menjadi salah satu tolak ukur
kita dalam menjalankan resolusi kedepannya. Maafkanlah diri kita dimasa lalu,
mohonlah ampun kepada Allah, kuatkan tekad untuk bertaubat dan berhijrah
menjadi lebih baik kedepannya. Jika aku, dia, dan mereka, berani untuk
mengambil jalan untuk terus belajar mendekat padaNya, mengapa dikau ragu? Bukan
kah Allah sendiri yang berkata penuh kasih “janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah.”? Jika dosa ini seluas lautan, ampunanNya
seluas samudra, jika kesedihan ini menenggelamkan diri, kasih cintaNya tak akan
ragu menyelamatkan bahkan jika diri berlumur dosa. Tak ada aturannya yang
merugikan, melaikan berlimpah keuntungan, penyelamatan, dan kehormatan atas
aturan yang ia berikan.
Bukan, bukan
karenaku merasa lebih baik kemudian diri menasehati, bukan. Kelak diri berada
dalam kefuturan, berada dalam jurang
kemaksiatan, ingatkanlah diri ini. Sebab syurgaNya begitu luas, ajaklah
sebanyak-banyaknya yang engkau kasihi menujunya. Hari ini aku mengajakmu, besok
jika aku terlena akan dunia, ingatkan akan tujuan kita ya, saudaraku.
Jadi… sudah
siapkan dengan 2018? Dengan First Step
ala kamu? Dengan samudra ampunanNya? Dengan berbagai kebaikan yang akan Allah
beri? Syaratnya? Kembalilah padaNya, mohon ampun, dan maafkanlah diri ini.
Wallahu a’lam bishshowwab, wassalamu’alaykum warahmatullaahi
wabarakaatuh.
Merauke, 31 Desember 2017
With Allah's rahmah,
Your Tin.