Kamis, 10 Februari 2022

Memulai

 

Assalamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh. Dear my self and the readers, sorry for being so far away for a long time. Sungguh banyak sekali yang telah diri ini lalui dan sangat ingin untuk dituliskan, namun lagi, ia seperti benang kusut yang begitu tebal menggulung. Harus diurai perlahan-lahan, agar begitu jelas tergambar, agar ada ibrah yang dapat terdengar. Sebab tentu tak ingin jika apa yang digoreskan hanya berbekas sebentar. Hihi maksa beud akhiran "ar-ar".

Bismillaah, pelan-pelan akan diri mulai kembali untaian kata itu untuk dapat membekas dalam sebuah tulisan. Semoga dengannya, dapat membawa diri ini dalam bahtera muhasabah. Karena sungguh, apa yang diri ini tuliskan tak lain dan tak bukan selalunya untuk mengetuk dengan kerasnya hati yang selalu saja larut dalam buaian.

Semoga saudara saudariku dimanapun berada juga tetap dalam perlindungan Allah dan meyakini akan perlindungannya yang tentu akan selalu ada. Semangat untuk terus memulai segala baik, karena kitapun tau ada yang tak akan pernah lalai untuk menjauhkan diri dari Ilahi Rabbi. Luruskan niat sesering mungkin, sebagaimana syaithon yang menggoda tanpa henti. 

Ma syaa Allah kaku pisan diriku 🙈 yuk semangat yuk.

With love,


Ummu Haidar.

Read More

Selasa, 31 Desember 2019

[ T e a c h e r s ] - KUTUB 291

[ T e a c h e r s ]

Komunitas Tahajjud Berantai, sebuah komunitas yang di dalamnya kita dilatih untuk terus berikhtiar agar dapat menikmati 1/3 malam terakhir dengan brmunajat kepada Allah, memohon ampun, memohon kebaikan, dan mengharap ridha Sang Rahman.

Tapi bagiku, lebih dari itu. Di dalamnya aku menemukan banyak guru luar biasa yang mengajarkan akan sabar, ikhtiar, cinta karena Allah, dan segala baik yang tak bisa ku retas satu persatu.

Salah satunya seorang member shalihah yang kini tinggal di Pekanbaru, Hanifah Salsabila. Usianya lebih muda dari ku, "ingin membiasakan diri pada amalan sunnah dan bersilaturrahim" katanya ketika ditanya mengapa ingin bergabung kutub.

Suatu hari, saat aku berada dalam sebuah agenda tempatku mengajar, dan sedang asik mendengarkan materi penguatan dari salah seorang guru, aku membuka grup kutub tersayangku, kutub 291.

Namun tak ku temukan Dek Hani dalam rentetan pesan laporan tahajjud, padahal ia begitu rajin dalam hal tahajjud.

Ku coba menelepon nomornya tp juga tak kutemukan jawaban sampai akhirnya kuterima sebuah pesan dari nomornya: "Assalamu'alaikum kak.
Maaf, kak Haninya gak shalat tahajud. Ini ade nya kak Hani kak.
Kak hani lagi sakit, skrng lg di rs." subhanaAllah, aku bersyukur ada kabar sekaligus kagum karena terkadang, jika sakit mungkin diriku tak lagi sempat meminta sanak saudara untuk menghubungi yang lain.

Akupun mendoakan kesembuhan untuknya dan menanyakan sakit apa yang di derita salah satu kekasih ku itu.

"Kak hani sakit leukimia kak. Jadi semalam kambuh lagi. Trus tadi marah2 gak di bangunin shalat tahajjud. Soalnya kita mau dia istirahat dulu. Jadi dia bilang, malu mau bilang nya sama kak Titin. Maka nya saya yg chat kakak.
Maaf ya kak, dri kak hani." balas sang adik.

Sontak hatiku bergemuruh, mata ku tak kuasa membendung tangis, seluruhku tak mampu menahan malu.

Ia yang tengah terbaring sakit, tak ingin menjadikan sakitnya menjadi alasan kealpaannya dalam 1/3 malam terakhir. Ia yang tengah melawan sakit, tak ingin lelapnya menghanyutkan ia hingga terlewat ibadah sunnah yang dinanti.

Sedang diri ini? Sering kali terlalai dalam sehat, terbuai akan empuknya kasur, melewatkan 1/3 malam terakhir tanpa beban. Dilupakan akibat dosa yang kian menenggelankan. Ya Rabb... Rabbighfirli.

Jazaakillaahu khayran katsiran dek hani atas 'ilmunya. Allah loves you more than how much I love you.

Your sister,


Tin.

----

Mohon doanya untuk kesembuhan Dek Hani (Hanifah Salsabila), semoga Allah limpahkan kekuatan, kesembuhan yang tiada sakit lagi, serta keberkahan yang banyak untuk beliau. Thanks in advance. Semoga dapat menjadi pelajaran untuk kita semua.
Read More

Minggu, 22 Juli 2018

Graduation without Make Up


"wah, makasih bu. aku suka bajunya, gamis batik. finally aku punya gamis batik. bisa dipakai buat wisuda." with all of my gratitude I thank her. beliau baru saja balik dari luar kota dan membelikan oleh-oleh yang walau tak ku minta beliau beri, walau tak jarang diri memberikan hadiah yang tak ada pas-pasnya untuk beliau. namun beliau selalu mengusaha memberikan yang pas untuk ku. jazaakillaahu khayran katsiran ibu.

"pakai buat wisuda?" tanya ibu, yang ku sambut dengan anggukan dan senyuman. mungkin bukan hanya ibu yang akan bertanya, bahkan sempat ku gunakan gamis itu ke suatu acara jauh hari setelah wisuda ada yang bertanya.

"cantik, tin, bajunya." 
"iya bulik alhamdulillaah hehe, ini baju yang aku pakai wisuda." jawabku dengan senyum membayangkan hari itu.
"lah, itukan baju rumahan." tukas beliau. 

eng ing eng, rupaya baju itu cukup sederhana untuk digunakan dalam acara se-special wisuda. yep, for somepeople. but I think that is proper dress for one of my milestone. 

diriku banyak belajar kesederhanaan dari Ibu, beliau adalah seorang doktor (it's not to show it off) but it's not make her feel shy with her appearance or make her should change her appearance. beliau tetap bersederhana, bukan karena pelit ga ingin memberikan sesuatu untuk dirinya, tapi ia lebih memilih pengalihan dana untuk orang lain.

"yang penting itu kesopanan kita tin, bukan make up kita." sering beliau menasehatiku.

one of my reason, why I didn't use make up in my graduation day. 
is it important? some of the wisudawati thinks, yes it is. for me? ah, I won't lie, I had time to think that maybe I need some soft makeup on my face at the day. the girls always want to have a good look, isn't it?

sampai paniknya berpikir, make up, engga, make up, engga...
sudah ada dua tawaran saudari yang ingin medandaniku, katanya I never use make up before (as long they know me, but indeed I ever did it before they know me xoxo), "soft aja kok kak makeupnya nanti ta buatkan." she beg on me. hihi ~ thanks dear 

mungkin bagi sebagian orang you don't need to condider it, just no if it no, and yes if it yes. tapi diriku mempertimbangkan banyak hal. if I don't use it, maybe I will be the only one girl who don't use make up, and it will look like a awkward circumtance for the others. but if I make it yes, how about tabarruj? is it accepted? or yeah, I can use a little bit of make up, just the soft colour. but no, no, no. If I do it, how about my ukhtiers' thought? they will think it is acceptable.

iya, jika diriku bermakeup ria. khawatirku kelak adik-adik akan menganggap, hal ini tak mengapa. ah, terlalu jauh. tapi toh tetap harus kupertimbangkan.

"kak (teh, mba, dll), dulu waktu wisuda make up ga?" beberapa akhwat yang telah melalui fase itu ku serang dengan pertanyaan yang sama. ada yang menjawab, yes I did, ada juga yang engga krn she has use niqab at the time, ada juga yang menjawab "yes I did, but I hope you don't, or if you want, the thin lipstick with soft colour is enough." 

search di segala macam tempat dengan keywords "wisuda tanpa make up", "wisuda syar'i" but I don't get enough way to take a decision. sampai aku tiba di rumah dengan lelahnya disuatu siang setelah sibuk mengurus a, b, c, syarat wisuda, ibupun nyeletup.

"awas ya kalau kamu pakai make up pas wisuda." akupun tersenyum mendengarnya.

Allah sends her for me, dengan segala perbedaan cara pikir, cara pandang, cara bertindak, tapi ia (ibu) berhasil menyatukan segala perbedaan dengan kesederhanaannya. sesederhana ia mencintaiku dengan tak berharap banyak melainkan senyum bahagiaku.

"ibu dulu saat wisuda S1 memang pakai make up, tapi karena ibu pakai kebaya. jadi ya cocoknya memang dandan. kamu ga usah ya." ma syaa Allah, teman berantem dahulu kala dikala aku memakai jilbab yang panjang selutut, teman debat dengan segala macam perbedaan pendapat akan suatu persoalan agama. beliau tetap menginginku dalam kesederhanaan.

jauh sebelumnya bahkan ibu tak menyarankanku untuk turut membeli selempang wisuda, "buat apa coba tin, dengan yudisium kan kamu udah resmi jadi pengangguran. kecuali kalau kamu dikasih karena apa gitu." kata beliau. ma syaa Allah hihi, tohokan dahsyat.

iya, ga papa kalau ada yang berpandangan berbeda :D it's free dear.
kalau ada yang ingin berpandangan "selempang wisudakan untuk give appresiation for our self." iya ga papa, akupun se-sependapat dengan kamu, iya kamu hehe. aku hanya ingin berbagi, betapa sederhananya beliau dalam segala sesuatu, betapa beliau selalu memperhitungkan segala sesuatunya agar tak menjadi percuma. dan akupun masih belajar, karena tentu diriku sangatlah jauh dari beliau.

ma syaa Allah wa tabarakallaah....
al hasil saat wisuda, I just the one girl who didn't use make up, hanya berbekal pelembab dan babypowder. saat yudisiumpun ayem di onli wan who didn't use selempang hihi (padahal ngarep ada yang ngasih *watcau).

is there any comment of your appearance at the time?
sure, ada yang bilang...
"tin, nak, kamu pakai lipstik ibu ya lipstik kamu kurang tebal." kata salah satu dosen (padahal emang kagak pakai lipstik eyke bu)
"kamu ga make up ya? iya ya kita terlalu rempong pakai make up."
"kamu ga suka make up ya?"

bahkan jauh hari udah ada ancaman, "awas ya tin, saat wisuda kamu ga make up. kalau engga, berarti kamu emang keterlaluan." hee ma syaa Allah ~

for sure mau pakai lipstik tipis sebenarnya tp ada trauma dgn lipstik dan teman-temannya takut bibir malah menghitam.

dan lagi...
Allah melihat dari ketakwaan setiap hambaNya, ah takwapun masih proses ku raih dengan seringnya aku tertatih, lantas jika inginku nampak indah di hari itu untuk siapakah ku berikan keindahan itu? rabbigfirli...

semoga Allah istiqomahkan kita selalu dalam segala kebaikan yang terus terseru dan terlaku, serta menjauhi segala larangNya yang akan membuat tubuh menyesal dengan kaku.

with a little fire of writing spirit,


Tin ~


PS: jangan langsung su'udzon sama yang bermakeup saat wisuda maupun dalam kesehararian, dengan judging bahwa dia tabarruj, ingin dilihat orang, ga istiqomah dan sebagainya. tak sedikit akhwat yang ku tanyai sebenarnya tak ingin berdandan dihari spesial seperti itu, tapi qadarullah orang tua menyampaikan ingin yang kuat. dan ingat gaesss, kebutuhan kulit setiap orang berbeda-beda. ada yang memang butuh lipstik atau lipgloss karena jika tidak bibirnya bisa pecah-pecah hingga luka (it's true story that I heard from the patient), butuh bedak lebih karena kulit yang cenderung berminyak dan sebagainya. tetap husnudzon (berprasangka baik) jikapun ada indikasi negatif, doakanlah bukan dengan menghardik atau memikirkan hal buruk tentang saudarimu. that's how Islam teaches us, right?

Read More

Minggu, 31 Desember 2017

First Step


“Tin, sholat dzuhur yuk!” kata Iin, teman sekelasku, sesaat setelah bel jam istirahat kedua berbunyi. Dengan alis yang mengkerut penuh alibi, aku menjawab, “tidak, In. pergi saja, tidak apa-apa.”
“Loh? Kenapa?” Tanya Iin heran dengan penolakan terhadap amalan wajib itu.
“Hm… tadi aku ga shalat shubuh, In. Jadi ga shalat dzuhur juga.” Jawabku dengan sedikit ragu diawal tapi dengan penuh yakin diakhirnya. Iin pun memandangku dengan lebih heran lagi, kemudian dengan nada lembut khas Iin, ia berkata,
“Oh gitu… Jadi, kalau kamu ga sarapan, kamu ga makan siang juga?” simpelnya yang membuatku tertunduk malu tanpa kata.
“Ya udah ga papa. Aku pergi ke mushallah dulu ya.” Dengan senyum, Iin meninggalkan kelas.
***
What? Is she on the story is you, Titin? Yes… She was me. Who I am before. Sebelum ku mengenal indahnya kasih sayang Rabbku yang tiada tara. Boro-boro shalat, saat terkejut saja mungkin bukan dzikrullah yang keluar dari lisan ini, melaikan untaian sumpah serapah yang dapat menghantarkan jitakan orang yang mendengarnya. Pasalnya aku terlahir bukan dari keluarga yang basically Islami atau dibesarkan dilingkungan bernafaskan Rabbani. Lahir dan besar di Ibu Kota tanpa dasar agama yang kuat dapat membuat tumbuh kembang anak tak berpondasi kuat, imbasnya, ia akan mudah terseret arus dengan dalih kenyamanan di comfort zone. Bukan, ini bukan ajang diri membuka aib, tapi ijinkanku mengajak kalian kemasa laluku dimana pertama kali aku mengenalNya dengan mantap yang membuatku tak ingin jauh lagi dariNya.
Aku tumbuh dengan kasih sayang Mama dan Bapak yang selalu menyelimuti. Kasih sayang seorang Mama yang tak akan pernah terganti, dalam murkanya pun ia balut dengan kasih yang tak elak membuat murka itu luntur seketika dengan pelukan yang berbalas maaf. Bapak lebih introvert, ia tak begitu akrab dengan kami, tapi itu bukan sebuah alasan yang kemudian kelak dapat menjadi saksi bahwa ia tak menyayangi. Caranya memberi kasih sayang lebih dari apa yang kau kira. Bukankah ketika Mama yang menelepon menanyakan keberadaan kita disore hari ketika tak kunjung pulang, ialah desakan dari Bapak? Bukan kah yang bekerja keras tanpa lelah mengambil lembur hanya untuk melebihkan apa yang seharusnya sudah cukup bagi kita? Yakinlah keduanya menyayangi dengan caranya masing-masing, terlalu naif jika diri ingin bersu’udzon kepada keduanya dengan berkata, “Mama dan Bapak tak menyayangiku.” Lantaran hanya karena mendapat omelan yang sebenarnya wujud cinta kasih dan sayangnya.
Mama adalah sosok yang tangguh, ia rela berkorban banyak hanya untuk mengukir senyum diwajah kecil kami. Bahkan saat ia terkujur kaku ditempat tidur rumah sakit, dalam keadaan hemiplegia (lumpuh setengah badan akibat stroke), ia masih menuliskan dengan sisi tangan lainnya, apa yang menjadi keperluan sehari-hari kami, anak-anaknya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, bukan kah kami ini berasal dari Mu, duhai Rabbku? Dan kelak hanya kepadaMu lah kembali diri ini? Qadarallah, Ia lebih menyayangi Mama, iapun pergi dengan berbagai bekas luka bak disayat-sayat yang alhamdulillaah sebagai bukti sayangnya Allah, mengajarkan kami makna ikhlas melalui kepergiannya, yang terkasih, yang selama ini memenuhi hampir seluruh isi hati. Kepergian seorang wanita tangguh tentu sangat berpengaruh, seketika tertorehlah kata “wajar” ketika diri makin jauh dari agama samawi wa rahmatan lil’alamin ini.
***
            “Ha? Tidak boleh pacaran?” dengan terkejut bin shock diri ini berseru penuh tanya kepada teman-teman sekelas sewaktu duduk di kelas XI IPA 1, SMA, teman-teman kelas yang cukup banyak mengikuti rohis.
            “Iya, Tin.” Kata Iin yang sebelumnya tanpa sengaja memberi tau bahwa mereka, anak rohis, sebenarnya tidak boleh berpacaran. Ditelinga Titin Muda (haa, sekarang juga masih muda, I mean, younger than before) sangat aneh, apa yang salah dengan pacaran? Bukankah itu baik, ada yang memperhatikan, menyemangati belajar, menemani diberbagai moment, sedia setiap saat bak rek**na.
            Oh dear, my self. Tertawa penuh malu mengingat siapa diri ini dulu, namun dengan segala kebaikanNya memperkenalkan diri ini dengan mereka, anak-anak rohis SMA Neg 3 Makassar, yang rohisnya akrab kami sapa “Ikramal”, Ikatan Remaja Mushallah Al Iqra.
***
            “Tin, kamu ini cantik. Tapi lebih cantik lagi kalau pakai jilbab.” Goda seorang teman sekelas, ma syaa Allah, begitu banyak cara mereka untuk mengajak diri mulai dari jujur-jujuran hingga siasat-siasat penuh kebaikan. Kalimat yang hanya ku balas dengan tatapan sinis dengan rona penuh malu.
            “Tin, ayo ikut Kamat.” Ajak seorang Ukhti, aku sedikit lupa, entah Ukhti Iin, atau Ukhti Dina yang mengajak kala itu. “Kamat, Kajian Jum’at.” Lanjutnya setelah melihat raut kebingunganku, yang kemudian ku sambut dengan peng”iyaan”
            Saat berada di dalam ruang kelas untuk mengikuti Kamat, disiang hari setelah jam pulang sekolah dihari Jum’at, kira-kira pukul 10.30 agak samar, namun masih terlukis jelas apa yang ku pandang di depan kelas yang tengah bersiap memberikan materi. Seorang Akhwat (Perempuan) anggun dengan jilbab besar nan lebarnya, begitu sejuk nan teduh dengan keramahannya. For the first time, rasa “ngeri” melihat wanita berjilbab besar nan lebar berwarna gelap itu menguap entah kemana, berganti dengan molekul takjub beriring kagum dengan apa yang disaksikan. Ku kira “mereka” itu akan sinis, atau mungkin pesimis unuk sekedar memberi sapa dengan manis, namun dengan keramahan Sang Akhwat, menggiring hati ini berjalan setapak demi setapak menuju seberkas cahaya di ujung nan jauh untuk diraih.
            Singkat saja Kamat siang itu, kurang lebih satu jam. Namun satu jam penuh makna dan menjadi titik berbalikku. Entah apa yang dibawa akhwat shalihah itu, namun ada buncah tak terbendung yang memantapkan diri “aku ingin berjilbab.” Tak ada yang tau niatan ini, hanya kepada Bapak ku sampaikan.
            “Bapak… aku mau beli jilbab dan baju panjang untuk sekolah.” Pintaku yang sekaligus memberi tau niat kuatku ini. Tanpa tapi, tanpa tanya, beliau hanya menjawab, “Kapan? Nanti Bapak temani.”
***
            “Titin mana nih, lama sekali.” Kata seorang teman yang berdiri didepan pagar sekolah bersama teman-teman lainnya, pagi itu kami akan mengikuti Upacara hari Pendidikan Nasional di Lapangan Karebosi, Makassar. Ia sempat melirikku. Ku sangka ia hanya bercanda, namun wajah kesalnya mulai nampak yang kemudian menyadarkan ku kalau ia tak mengenaliku.
            “Akukan sudah dari tadi disini.” Sahutku kemudian yang membuat wajah bingung teman-teman yang ada.
            “Titin? Ma syaa Allah.” Kata mereka sahut menyahut yang disusul dengan bullyan penuh kasih mereka. Tanggal 2 Mei 2012, kali pertamaku menggunakan Jilbab dengan hati yang mantap, walau dengan sederhana, belum sesuai dengan An Nur ayat 31 maupun rangkaian hadits yang seharusya.
***
            Then… what is the main point, sist? Poin utamanya kenapa saya menuliskan kisah ini diakhir tahun 2017, ialah sebagai bahan refleksi utamanya bagi diri saya pribadi. Refleksi bahwa hidayah Allah itu ga serta merta datang, ada yang harus dijemput walau dengan terpaksa, dan harus ada orang-orang yang mau mengantarkan dengan paksa untuk mereka yang merindukan hidayah Allah.
            So, what the is the correlation between pict with your note? Korelasinya adalah, kemarin ketika saya membuka kembali raport SMA, ma syaa Allah, ku temukan lembar demi lembar yang kosong dibagian ekstrakulikulernya, yang pada akhirnya ditahun terakhir berisi pada kolom “Ikramal” dengan predikat AB (Amat Baik). Kalau saya artikan AB itu Allah Baik. Baik sekali menemapatkan diri ini di kelas yang anak-anaknya pandai bersiasat dan terus mengajak dalam kebaikan, Baik sekali memperkenalkan dengan Murobbiyah (Kak Eki) dan teman-teman tarbiyah, Ukh Ilmy, Ukh Dina, Ukh Kiki, Ukh Dian, Ukh Monic, Ukh Iin. Disaat diri sama sekali tak mengenal Islam melainkan hanya predikat yang diperoleh dari orang tua, Allah kirimkan mereka untuk kemudian menjadi “First Step” menerima banyak kebaikan lainnya.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
            Dear kamu yang sedang membaca tulisan ini. Pergantian tahun bisa menjadi salah satu tolak ukur kita dalam menjalankan resolusi kedepannya. Maafkanlah diri kita dimasa lalu, mohonlah ampun kepada Allah, kuatkan tekad untuk bertaubat dan berhijrah menjadi lebih baik kedepannya. Jika aku, dia, dan mereka, berani untuk mengambil jalan untuk terus belajar mendekat padaNya, mengapa dikau ragu? Bukan kah Allah sendiri yang berkata penuh kasih “janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”? Jika dosa ini seluas lautan, ampunanNya seluas samudra, jika kesedihan ini menenggelamkan diri, kasih cintaNya tak akan ragu menyelamatkan bahkan jika diri berlumur dosa. Tak ada aturannya yang merugikan, melaikan berlimpah keuntungan, penyelamatan, dan kehormatan atas aturan yang ia berikan.
            Bukan, bukan karenaku merasa lebih baik kemudian diri menasehati, bukan. Kelak diri berada dalam kefuturan, berada dalam jurang kemaksiatan, ingatkanlah diri ini. Sebab syurgaNya begitu luas, ajaklah sebanyak-banyaknya yang engkau kasihi menujunya. Hari ini aku mengajakmu, besok jika aku terlena akan dunia, ingatkan akan tujuan kita ya, saudaraku.
      Jadi… sudah siapkan dengan 2018? Dengan First Step ala kamu? Dengan samudra ampunanNya? Dengan berbagai kebaikan yang akan Allah beri? Syaratnya? Kembalilah padaNya, mohon ampun, dan maafkanlah diri ini.
Wallahu a’lam bishshowwab, wassalamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Merauke, 31 Desember 2017
With Allah's rahmah,

Your Tin.




Read More

Rabu, 15 November 2017

Different


"Jika ingin sukses, maka beranilah menjadi beda." terngiang kalimat bijak yang pernah terekam didalam benakku, entah kapan dan oleh siapa.

tapi memang benarlah katanya, lihatlah mereka yang sukses, Colonel Harland David Sanders, founder KFC yang konon mencoba hingga 1009 kali untuk menjadi beda dalam menyajikan ayam renyahnya, lihat hasilnya sekarang? Mark Elliot Zuckerberg, founder Facebook, yang mana akunku dan akunmu menjadi sesuatu yang sering dikunjungi tiap harinya, ya lagi-lagi karena Markpun berani untuk menjadi beda.

pagi ini, sehabis melaksanakan hak sendi-sendi untuk memperoleh shodaqoh, di Mushallah sekolah ada anak2 yang ramai, nein, bukan untuk ibadah, namun untuk mengerjakan tugas mata pelajaran agama. mereka mengerjakannya dengan tak memperdulikan sekitar, perempuan bercampur dengan laki-laki (padahal di dalam mushallah). iyaa udh ditegur geng, tapi mereka merasa itu hal yg wajar dan biasa jika mngerjakannya bersama.

namun ada yang mencuri perhatianku, ada dua orang siswa (laki-laki) yang melakukan kesibukan berbeda. yang satunya bertumpu pada lututnya yg ditekuk, yang satunya tilawah dan memegang saudaranya, bak sedang ruqiyah.

tapi bukan adegan itu yg membuatku takjub, namun adegan si anak yg tilawahlah. pasalnya ini kali pertama ku mendengarkan siswa tilawah di sekolah ini, di mushallah tepatnya. seringnya kudapati yang lain hanya berseda gurau dan katawa ketiwi. tapi kini disaat siswa lain keluar dari mushallah dan si anak tetap tilawah, sejuk rasanya.

ya, dia berani untuk berbeda.
jika tilawah itu jarang bagi mereka di sekolah, tentu si anak sudah berjihad melawan rasa malunya (takut dibilang sok alim) terlebih dahulu. dan ya, tak sia-sia, Allah Maha cepat Perhitungannya.

walau jika didengar dengan seksama akan kita ketahui bahwa si alim kecil masih belajar makhrojul maupun tajwid, namun tiada kata terlambat utk memulaikan?

jadi teringat kata-kata bijak dari video ceramah seorang ustadz yg ku nonton beberapa hari yang lalu. "jika kita shalat 5 waktu, jangan bangga, orang lain sdh shalat dhuha, tahajjud, dan shalat-shalat lainnya yang ada disebutkan dalam Al Qur'an."

ma syaa Allah, masih terlalu kecil amalan yang kita buat dan kita banggakan. tak ada seberapanya dari mereka yang menutupinya namun begitu dekat hatinya dengan RabbNya.

berbeda, ya... beranilah menjadi berbeda di jalan kebaikan, teruslah berusaha dan tidak cepat puas dengan apa yang telah diperoleh.

saling mengingatkan ya kawanku.
semoga kelak Allah akan menyatukan kita di jannahNya dengan keberanian kita utk berbeda, yang kemudian tetap sama dalam tujuan menggapai ridhaNya, dengan Al Qur'an dan As Sunnah sebagai pegangan yang satu. aamiin Allahummaa aamiin.

Merauke, 15 November 2017
Tin.

***
Nb: video on my home in line, please check it on @stsuhartini
Read More

Jumat, 27 Oktober 2017

Silence



Tetibaku didalam sepi
Ia mengalir mengikuti lirih
Terbawaku pada lorong imajinasi
Bagaimana jika Ia memanggil
Sudah siapkah diri?

Bukan hanya tentang diri
Tapi bagaimana jika ia yang dikasih
Sudahkah diri berbakti?
Sudahkah diri mencukupi?

Kucari gelisah yang tiap malam menemui
Kutanya malam yang juga pasih
Namun gelapnya menenangkan hati
Pintalah, mungkin titahnya berbalut kasih

Allahu Rabbi...
Sering diri ini memikirkan dunia
Bagaimana diri ini membanggakan di dunia
Bagaimana diri ingin selalu ceria
Sedang akhirat tak lupa mengira

Setiap insan memiliki khilaf
Namun haruskah ia berulang menjadi dalih akan kesewenangan diri?

Allahu Rabbi...
Seluruhku milikMu,
Saatku kembali, ku ingin ampunan menjadi balutan amalan yang membawa murka
Ku ingin kasih menjadi balutan amalan yang Engkau Ridhai

Rabbigfirli...

***

In the dark of night
With Allah beside me (as always)

Tin.

Read More

Minggu, 30 Juli 2017

Admiration

"lah itukan agenda ibu-ibu."
terdengar menohok seberkas kalimat yang keluar dari seorang pemuda di dunia yang ia sebut modern

***

siang ini kudapati alarm dikalender mengingatkan "Seminar Islamic Parenting".
sambil matikan alarm, kuhela nafas yang cukup panjang. pasalnya pagi ini ada lomba debat di kampus yang berbeda dengan tmpat pelaksanaan seminar yang telah kudaftar jauh-jauh hari sebelumnya.

"semoga masih sempat." gugamku dalam hati, mengingat lomba selesai pkl 10.50wib sedang seminarnya dimulai 9wib.

waktu terus berjalan, lomba telah selesai dan akhirnya berjalan menuju kampus tempat seminar islamic parenting diadakan.

harus berjalan kaki terlebih dahulu untuk mencapai tempat bus mengangkut mahasiswa dari UIN Malik Ibrahim - UB - UM dan seterusnya.

"walah ukh, lupa. hpku tadi dititip diatas." teriakku ketika sudah seperempat jalan menuju tempat pemberhentian bus.

dar kejauhan kulihat ada sepeda yang sedang parkir bersama seorang wanita yang kemudian kupinjam. the power of ukhuwah, alhamdulillaah diijinkan.

setelah berbagai proses perjuangan menuju (lebih tepatnya mengejar) bus, tibalah kami di kampus tempat pelaksanaan Seminar Islamic Parenting.

karena terlambat, ketika masuk tempat depan telah terisi penuh. tampak begitu banyak perempuan dan ibu-ibu didalam.

"jika ada salahnya itu datangnya dari saya, jika ada benarnya itu datang dr Allah." baru beberapa menit duduk, sesi pertama seminar sudah selesai. alhasil harus menanti untuk sesi kedua. karena sudah waktunya shalat dzuhur orangpun berbondong-bondong keluar.

"alhamdulillah masih dapat kesempatan duduk didepan." besitku dalam hati
"kak titin kalau bisa dapat tmpat di depan kita pindah ya." pinta ukh meidy yang lgsg ku aminkan.

karena sedang tidak shalat, saya tetap stay dlm ruangan Aula Gedung Fakultas Teknik Pertanian itu. hanya ada beberapa akhwat di dalam. ba'da waktu shalat mulailah ada yg berdatangan.

yang membuatku kagum ialah, kedatangan para ikhwan. bukan ttg siapa ikhwannya, but every ikhwan (laki2, bapak2, pokok e men) that came at that time.

diera modern yang dinikmati banyak kaum pengejar dunia, alhamdulillaah masih ada para lelaki yang tau bahwa ilmu 'parenting' bukan saja makanan perempuan ataupun ibu-ibu.

ya, karena anak bukan hanya tanggung jawab si 'ibu' tapi juga si 'ayah'.

betapa banyak kisah, sang ayah yg tak kuat dengan jeritan tangis anak sendiri. yang tak kuat berlama-lama berbincang dengan anaknya. sibuk dengan dunia kerjanya dengan dalil 'menafkahi' tapi lupa membekali keluarga dengan peran ke 'ayahannya', hingga waktu berlalu dan tak terasa, rupanya si kecil telah besar, sang remaja telah mendewasa, yang polos telah terwarnai oleh lingkungan, sampai sang ayah berteriak keras "Dasar kurang ajar.", atau bahkan anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari sang ayah, terlebih jika ia perempuan, ia akan sangat mudah mengagumi lelaki lain karena tak mendapat tokoh ayahnya sebagai sang hero. wa na'udzubillaah.

tapi siang ini, saya terkagum
kagum atas keberanian 'mereka' datang dimajelis yang penuh para wanita dan  ibu-ibu. dimajelis yang sejak lama menjadi perbincangan hanya dikalangan ibu-ibu.

semoga Allah menjadikan kita smua orang tua yang luar biasa, yang bisa menghasilkan generasi Islami yang luar biasa. yang hela nafasnya terdapat dzikir atasNya, ditiap langkahnya penuh tawaddu untuk mengaharap ridhoNya, dan disetiap tindakannya bertabur barokah atas izinNya.

rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata'ayyun waja'alna lilmuttaqina imamaa.

Malang, 30 Juli 2017

with ukh meidy behind me with love
tin ~
Read More