Minggu, 31 Desember 2017

First Step


“Tin, sholat dzuhur yuk!” kata Iin, teman sekelasku, sesaat setelah bel jam istirahat kedua berbunyi. Dengan alis yang mengkerut penuh alibi, aku menjawab, “tidak, In. pergi saja, tidak apa-apa.”
“Loh? Kenapa?” Tanya Iin heran dengan penolakan terhadap amalan wajib itu.
“Hm… tadi aku ga shalat shubuh, In. Jadi ga shalat dzuhur juga.” Jawabku dengan sedikit ragu diawal tapi dengan penuh yakin diakhirnya. Iin pun memandangku dengan lebih heran lagi, kemudian dengan nada lembut khas Iin, ia berkata,
“Oh gitu… Jadi, kalau kamu ga sarapan, kamu ga makan siang juga?” simpelnya yang membuatku tertunduk malu tanpa kata.
“Ya udah ga papa. Aku pergi ke mushallah dulu ya.” Dengan senyum, Iin meninggalkan kelas.
***
What? Is she on the story is you, Titin? Yes… She was me. Who I am before. Sebelum ku mengenal indahnya kasih sayang Rabbku yang tiada tara. Boro-boro shalat, saat terkejut saja mungkin bukan dzikrullah yang keluar dari lisan ini, melaikan untaian sumpah serapah yang dapat menghantarkan jitakan orang yang mendengarnya. Pasalnya aku terlahir bukan dari keluarga yang basically Islami atau dibesarkan dilingkungan bernafaskan Rabbani. Lahir dan besar di Ibu Kota tanpa dasar agama yang kuat dapat membuat tumbuh kembang anak tak berpondasi kuat, imbasnya, ia akan mudah terseret arus dengan dalih kenyamanan di comfort zone. Bukan, ini bukan ajang diri membuka aib, tapi ijinkanku mengajak kalian kemasa laluku dimana pertama kali aku mengenalNya dengan mantap yang membuatku tak ingin jauh lagi dariNya.
Aku tumbuh dengan kasih sayang Mama dan Bapak yang selalu menyelimuti. Kasih sayang seorang Mama yang tak akan pernah terganti, dalam murkanya pun ia balut dengan kasih yang tak elak membuat murka itu luntur seketika dengan pelukan yang berbalas maaf. Bapak lebih introvert, ia tak begitu akrab dengan kami, tapi itu bukan sebuah alasan yang kemudian kelak dapat menjadi saksi bahwa ia tak menyayangi. Caranya memberi kasih sayang lebih dari apa yang kau kira. Bukankah ketika Mama yang menelepon menanyakan keberadaan kita disore hari ketika tak kunjung pulang, ialah desakan dari Bapak? Bukan kah yang bekerja keras tanpa lelah mengambil lembur hanya untuk melebihkan apa yang seharusnya sudah cukup bagi kita? Yakinlah keduanya menyayangi dengan caranya masing-masing, terlalu naif jika diri ingin bersu’udzon kepada keduanya dengan berkata, “Mama dan Bapak tak menyayangiku.” Lantaran hanya karena mendapat omelan yang sebenarnya wujud cinta kasih dan sayangnya.
Mama adalah sosok yang tangguh, ia rela berkorban banyak hanya untuk mengukir senyum diwajah kecil kami. Bahkan saat ia terkujur kaku ditempat tidur rumah sakit, dalam keadaan hemiplegia (lumpuh setengah badan akibat stroke), ia masih menuliskan dengan sisi tangan lainnya, apa yang menjadi keperluan sehari-hari kami, anak-anaknya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, bukan kah kami ini berasal dari Mu, duhai Rabbku? Dan kelak hanya kepadaMu lah kembali diri ini? Qadarallah, Ia lebih menyayangi Mama, iapun pergi dengan berbagai bekas luka bak disayat-sayat yang alhamdulillaah sebagai bukti sayangnya Allah, mengajarkan kami makna ikhlas melalui kepergiannya, yang terkasih, yang selama ini memenuhi hampir seluruh isi hati. Kepergian seorang wanita tangguh tentu sangat berpengaruh, seketika tertorehlah kata “wajar” ketika diri makin jauh dari agama samawi wa rahmatan lil’alamin ini.
***
            “Ha? Tidak boleh pacaran?” dengan terkejut bin shock diri ini berseru penuh tanya kepada teman-teman sekelas sewaktu duduk di kelas XI IPA 1, SMA, teman-teman kelas yang cukup banyak mengikuti rohis.
            “Iya, Tin.” Kata Iin yang sebelumnya tanpa sengaja memberi tau bahwa mereka, anak rohis, sebenarnya tidak boleh berpacaran. Ditelinga Titin Muda (haa, sekarang juga masih muda, I mean, younger than before) sangat aneh, apa yang salah dengan pacaran? Bukankah itu baik, ada yang memperhatikan, menyemangati belajar, menemani diberbagai moment, sedia setiap saat bak rek**na.
            Oh dear, my self. Tertawa penuh malu mengingat siapa diri ini dulu, namun dengan segala kebaikanNya memperkenalkan diri ini dengan mereka, anak-anak rohis SMA Neg 3 Makassar, yang rohisnya akrab kami sapa “Ikramal”, Ikatan Remaja Mushallah Al Iqra.
***
            “Tin, kamu ini cantik. Tapi lebih cantik lagi kalau pakai jilbab.” Goda seorang teman sekelas, ma syaa Allah, begitu banyak cara mereka untuk mengajak diri mulai dari jujur-jujuran hingga siasat-siasat penuh kebaikan. Kalimat yang hanya ku balas dengan tatapan sinis dengan rona penuh malu.
            “Tin, ayo ikut Kamat.” Ajak seorang Ukhti, aku sedikit lupa, entah Ukhti Iin, atau Ukhti Dina yang mengajak kala itu. “Kamat, Kajian Jum’at.” Lanjutnya setelah melihat raut kebingunganku, yang kemudian ku sambut dengan peng”iyaan”
            Saat berada di dalam ruang kelas untuk mengikuti Kamat, disiang hari setelah jam pulang sekolah dihari Jum’at, kira-kira pukul 10.30 agak samar, namun masih terlukis jelas apa yang ku pandang di depan kelas yang tengah bersiap memberikan materi. Seorang Akhwat (Perempuan) anggun dengan jilbab besar nan lebarnya, begitu sejuk nan teduh dengan keramahannya. For the first time, rasa “ngeri” melihat wanita berjilbab besar nan lebar berwarna gelap itu menguap entah kemana, berganti dengan molekul takjub beriring kagum dengan apa yang disaksikan. Ku kira “mereka” itu akan sinis, atau mungkin pesimis unuk sekedar memberi sapa dengan manis, namun dengan keramahan Sang Akhwat, menggiring hati ini berjalan setapak demi setapak menuju seberkas cahaya di ujung nan jauh untuk diraih.
            Singkat saja Kamat siang itu, kurang lebih satu jam. Namun satu jam penuh makna dan menjadi titik berbalikku. Entah apa yang dibawa akhwat shalihah itu, namun ada buncah tak terbendung yang memantapkan diri “aku ingin berjilbab.” Tak ada yang tau niatan ini, hanya kepada Bapak ku sampaikan.
            “Bapak… aku mau beli jilbab dan baju panjang untuk sekolah.” Pintaku yang sekaligus memberi tau niat kuatku ini. Tanpa tapi, tanpa tanya, beliau hanya menjawab, “Kapan? Nanti Bapak temani.”
***
            “Titin mana nih, lama sekali.” Kata seorang teman yang berdiri didepan pagar sekolah bersama teman-teman lainnya, pagi itu kami akan mengikuti Upacara hari Pendidikan Nasional di Lapangan Karebosi, Makassar. Ia sempat melirikku. Ku sangka ia hanya bercanda, namun wajah kesalnya mulai nampak yang kemudian menyadarkan ku kalau ia tak mengenaliku.
            “Akukan sudah dari tadi disini.” Sahutku kemudian yang membuat wajah bingung teman-teman yang ada.
            “Titin? Ma syaa Allah.” Kata mereka sahut menyahut yang disusul dengan bullyan penuh kasih mereka. Tanggal 2 Mei 2012, kali pertamaku menggunakan Jilbab dengan hati yang mantap, walau dengan sederhana, belum sesuai dengan An Nur ayat 31 maupun rangkaian hadits yang seharusya.
***
            Then… what is the main point, sist? Poin utamanya kenapa saya menuliskan kisah ini diakhir tahun 2017, ialah sebagai bahan refleksi utamanya bagi diri saya pribadi. Refleksi bahwa hidayah Allah itu ga serta merta datang, ada yang harus dijemput walau dengan terpaksa, dan harus ada orang-orang yang mau mengantarkan dengan paksa untuk mereka yang merindukan hidayah Allah.
            So, what the is the correlation between pict with your note? Korelasinya adalah, kemarin ketika saya membuka kembali raport SMA, ma syaa Allah, ku temukan lembar demi lembar yang kosong dibagian ekstrakulikulernya, yang pada akhirnya ditahun terakhir berisi pada kolom “Ikramal” dengan predikat AB (Amat Baik). Kalau saya artikan AB itu Allah Baik. Baik sekali menemapatkan diri ini di kelas yang anak-anaknya pandai bersiasat dan terus mengajak dalam kebaikan, Baik sekali memperkenalkan dengan Murobbiyah (Kak Eki) dan teman-teman tarbiyah, Ukh Ilmy, Ukh Dina, Ukh Kiki, Ukh Dian, Ukh Monic, Ukh Iin. Disaat diri sama sekali tak mengenal Islam melainkan hanya predikat yang diperoleh dari orang tua, Allah kirimkan mereka untuk kemudian menjadi “First Step” menerima banyak kebaikan lainnya.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
            Dear kamu yang sedang membaca tulisan ini. Pergantian tahun bisa menjadi salah satu tolak ukur kita dalam menjalankan resolusi kedepannya. Maafkanlah diri kita dimasa lalu, mohonlah ampun kepada Allah, kuatkan tekad untuk bertaubat dan berhijrah menjadi lebih baik kedepannya. Jika aku, dia, dan mereka, berani untuk mengambil jalan untuk terus belajar mendekat padaNya, mengapa dikau ragu? Bukan kah Allah sendiri yang berkata penuh kasih “janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.”? Jika dosa ini seluas lautan, ampunanNya seluas samudra, jika kesedihan ini menenggelamkan diri, kasih cintaNya tak akan ragu menyelamatkan bahkan jika diri berlumur dosa. Tak ada aturannya yang merugikan, melaikan berlimpah keuntungan, penyelamatan, dan kehormatan atas aturan yang ia berikan.
            Bukan, bukan karenaku merasa lebih baik kemudian diri menasehati, bukan. Kelak diri berada dalam kefuturan, berada dalam jurang kemaksiatan, ingatkanlah diri ini. Sebab syurgaNya begitu luas, ajaklah sebanyak-banyaknya yang engkau kasihi menujunya. Hari ini aku mengajakmu, besok jika aku terlena akan dunia, ingatkan akan tujuan kita ya, saudaraku.
      Jadi… sudah siapkan dengan 2018? Dengan First Step ala kamu? Dengan samudra ampunanNya? Dengan berbagai kebaikan yang akan Allah beri? Syaratnya? Kembalilah padaNya, mohon ampun, dan maafkanlah diri ini.
Wallahu a’lam bishshowwab, wassalamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Merauke, 31 Desember 2017
With Allah's rahmah,

Your Tin.




Read More